Seluruh amal perbuatan
manusia, tidak memiliki suatu status hukum sebelum datangnya pernyataan dari
syara'. Amal itu tidak tergolong wajib, sunah, haram, makruh, atau pun
mubah. Manusia boleh melakukan amal itu
sesuai dengan pengeta- huannya dan berdasarkan pandangan atas kemaslahatan
manusia. Sebab, tidak ada "taklif"
(beban hukum) sebelum sampai per- nyataan syara'. Allah SWT berfiman :
"(Dan) Kami tidak akan
mengazab suatu kaum sebelum Kami mengutus seorang Rasul/ utusan" (QS.
Al- Isra' 15).
Berdasarkan ayat tersebut dapat
ditarik suatu pemahaman, bahwa Allah SWT memberikan jaminan bahwa tidak akan datang azab kepada hamba-Nya atas
perbuatan yang mereka lakukan, sebelum diutusnya seorang Rasul kepada mereka. Jadi mereka tidak akan dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatan yang
mereka lakukan. Sebab, mereka tidak
terbebani oleh satu hukum pun. Hanya
saja, tatkala Allah SWT mengutus seorang rasul kepada mereka, atau telah sampai
kepada suatu kaum, penjelasan syara'; maka terikatlah mereka dengan risalah
yang dibawa oleh rasul tersebut. Allah
SWT berfirman :
"(Mereka Kami utus)
selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya
tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul
itu" (QS. An-Nisaa 165).
Dengan demikian, siapa pun yang
tidak beriman kepada Rasul tersebut, pasti ia akan diminatai pertanggungjawaban
di hadapan Allah kelak, tentang ketidak imanannya dan ketidak-terikatannya
terhadap hukum-hukum yang dibawa Rasul tersebut. Begitu pula bagi yang beriman kepada Rasul
serta mengikatkan diri pada hukum yang dibawanya iapun akan dimintai
pertanggungjawaban tentang penyelewengan terhadap sebagian hukum dari hukum-hukum yang
dibawa Rasul tersebut.
Untuk itu seluruh kaum muslimin
diperintahkan melakukan amal perbuatannya sesuai dengan hukum Islam, karena
kewajiban atas mereka untuk menyesuaikan amal perbuatannya dengan segala
perintah dan larangan Allah SWT. Allah
SWT berfirman :
"... apa yang diberikan
Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan
apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah..." (QS. Al-Hasyr 7).
Tidak berarti dikatakan di sini,
bahwa barangsiapa yang tidak datang kepadanya suatu perintah atau larangan dari
Rasul secara langsung (karena masa
Rasulullah SAW telah lewat) maka ia tidak termasuk "mukallaf" (orang
yang terbebani hukum). Tidak dapat
dikatakan demikian, sebab beban hukum menurut syara' adalah 'aam (bersifat umum), sebagaimana
umumnya risalah untuk seluruh manusia.
Selain itu tidak dapat dinyatakan dengan suatu pengertian bahwa ada
perbuatan-perbuatan tersebut yang lolos dari hukum syari'at. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :
"Wahai sekalian manusia,
sesung- guhnya aku (Muhammad) adalah utusan Allah untuk kamu semuanya" (QS.
Al-A'raf 158).
Oleh karena itu telah menjadi
suatu yang pasti bahwa apapun yang dibawa Rasul tentang suatu hukum akan
mencakup setiap perbuatan dan apa-apa yang dilarang olehnya juga mencakup
setiap perbuatan. Dengan demikian setiap muslim yang hendak me- lakukan suatu
perbuatan untuk memenuhi kebutuhannya atau mencari suatu kemas- lahatan,
maka wajib baginya
secara syar'i mengetahui hukum Allah tentang perbuatan tersebut sebelum
ia melakukannya, sehingga ia dapat berbuat sesuai dengan hukum syara'.
Selain itu, bila ada perbuatan/
hal baru yang belum diketahui nash syara' terhadapnya, maka manusia tetap tidak
berhak menghukumi berdasar kemauannya.
Jika ada anggapan bahwa terdapat
perbuatan/hal yang tidak memiliki nash hukum; anggapan tersebut sama artinya
dengan menganggap bahwa syari'at Islam mempunyai kekurangan dan tidak cocok
kecuali untuk masa dan keadaan tertentu.
Tentu saja hal ini bertentangan dengan syari'at itu sendiri serta kenyataan
yang sesuai dengannya.
Sumber : Materi Dasar Islam
No comments:
Post a Comment