Bilamana anjing menjilat perkakas atau
salah satu anggota tubuhnya menyentuh perkakas tersebut dan salah satu anggota
tubuh anjing itu dalam keadaan basah atau yang basah itu adalah perkakas, maka
perkakas tersebut menjadi tidak bersih (najis) sampai perkakas itu dicuci tujuh
kali dan salah satunya harus dengan tanah. Ketentuan ibi berdasarkan hadits
yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., bahwasanya Nabi saw. telah bersabda:
“Cara membersihkan perkakas seseorang di antara kalian jika
dijilat anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya sengan
tanah”.
Babi
adalah binatang yang disamakan dengan anjing karena keadaan babi lebih buruk
dari anjing, sehingga pada saat hukum babi disamakan dengannya ini adalah
merupakan langkah yang dianggap lebih pantas.
Cara
untuk membersihkan benda yang terkena air kencing bayi laki-laki yang belum
diberi akan selain ASI adalah cukup hanya dengan memercikkan air padanya dan
tidak perlu sampai bercucuran. Sedangkan untuk bayi perempuan tidak demikian
halnya, takni harus dicuci seperti sesuatu yang terkena air kencing orang
dewasa. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ali Karramallahu
Wajhahu, bahwasanya Nabi saw. telah bersabda tentang air kencing bayi:
“Hendaknya dicuci air kencing bayi wanita, dan (cukup)
diperciki dari air kencing bayi laki-laki”.
Adapun
cara membersihkan benda yang terkena selain najis air kencing bayi ini, maka
hendaklah diperhatikan: Najis seperti tahi dan bangkai (bersifat padat) itu
sendiri tidak dapat dibersihkan walau dicuci sekalipun. Oleh karena itu bila
najis tersebut jatuh pada benda suci, maka untuk membersihkannya dzatiyah najis
tersebut harus dihilangkan kemudian bekasnya dicuci. Sedangkan bila najis
tersebut bersifat cair, seperti: air kencing, darah, arak dan sejenisnya, maka
untuk membersihkan benda terkena olehnya dengan cara dicuci sekali cucian,
sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
“Nabi saw. telah menyuruh mereka (para sahabat) agar
menyiramkan air pada bekas air kencing seorang Arab dari dusun dengan seember
air”.
Bilamana
bagian bawah sepatu mengenai najis, maka hendaklah diperhatikan: jika najis
tersebut basah, maka sepatu tersebut harus dicuci. Sedangkan jika najis itu
kering, maka cukup hanya dengan digosokkan pada tanah. Hal ini sebagaimana
dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri r.a.,
bahwasanya Nabi saw. telah bersabda:
“Apabila salah seorang di antara kalian datang ke masjid,
maka perhatikanlah kedua sandalnya. Bilamana pada bagian bawahnya terdapat
kotoran, maka sapukanlah pada tanah kemudian shalatlah dengan mengenakannya”.
Cara
untuk menghilangkan semua najis, baik najis yang bersifat cair; seperti darah,
maupun yang bersifat padat; seperti tahi, adalah hanya dengan air, tidak bisa
dengan yang lainnya, sekalipun itu bersifat cait, kecuali jika ada nash yang
membolehkannya. Namun demikian, nash tersebut pun hanya khusus untuk yang dimaksud
saja. Cara menghilangkan najis dengan dengan air ditetapkan oleh sekian banyak
hadits shahih, antara lain:
Dari
Asma’inti Abu Bakar r.a., ia berkata:
“Seorang perempuan telah datang kepada Nabi saw., lalu ia
bertanya: Salah seorang di antara kami bajunya terkena darah haid, bagaimanakah
kami harus berbuat? Maka beliau menjawab: Hendaklah ia membilasnya untuk
menghilangkan dzatiyahnya, kemudian menggaruknya dengan jari jemarinya bersama
air, kemudian mencucinya, kemudian shalat dengannya”.
Dari
Abdullah bin Umar, bahwasanya Abu Tsa’labah telah berkata:
“Ya Rasulullah, berilah kami fatwa tentang perkakas
orang-orang majusi mana kala kami terpaksa membutuhkannya! Beliau bersabda:
Mana kala kalian terpaksa membutuhkannya, maka cucilah dengan air dan masaklah
kalian dengannya!”.
Dari
Abdullah bin Sa’ad, ia telah berkata:
“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang air yang
keluar sesudah air. Maka beliau menjawab: Itu adalah madzi, dan setiap
laki-laki mempunyai madzi, cucilah farji dan kantung kedua buah dzakarmu
karenanya, dan berwudlulah seperti wudlumu untuk shalat”.
Semua
hadits di atas adalah sebagai dalil yang menunjukkan, sesungguhnya najis hanya
dapat dihilangkan dengan air dan tidak bisa dengan yang lain. Adapun bila
diperoleh nash yang menyalahinya, maka hal itu sifatnya khusus untuk yang
dimaksud oleh nash tersebut, seperti halnya kulit; bahwasanya kulit itu bisa
suci dengan cara disamak, berdasarkan adanya nash untuknya sebagaimana
diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., dimana ia telah berkata:
“Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Kulit apa saja bila
disamak, maka kulit itu menjadi suci”.
Sumber : Ahkamus Sholat Pengarang Syaikh
Ali Raghib
No comments:
Post a Comment