Tuesday, October 13, 2015

HAD LIWATH (HOMOSEX)

Sanksi liwath berbeda dengan sanksi zina, sebab zina berbeda dengan liwath.  Fakta liwath berbeda dengan fakta zina.  Masing-masing keduanya berbeda. Liwath bukanlah termasuk salah satu jenis dari perzinaan, sehingga dikatakan bahwa liwath masuk ke dalam keumuman dalil-dalil syara’ yang menyebut tentang perzinaan.   Sebab, zina adalah masuknya kelamin laki-laki ke dalam farjinya perempuan, sedangkan liwath adalah masuknya kelamin laki-laki ke dalam duburnya laki-laki.  Masuknya kelamin ke farji berbeda dengan masuknya kelamin ke dubur.  Oleh karena itu liwath berbeda dengan zina.  Liwath juga tidak bisa diqiyaskan dengan zina, sebab nash yang menerangkan tentang perzinaan tidak mengandung ‘illat sehingga qiyas dengan seluruh jenis ‘illat menjadi sah.    Selain itu mendatangi wanita pada duburnya tidak disebut dengan liwath dan tidak pula dinamakan dengan liwath, sebab liwath bukan hanya memasukkah kelamin ke dubur akan tetapi liwath adalah hubungan kelamin laki-laki dengan laki-laki, yakni masuknya kelamin laki-laki ke dubur laki-laki.   Dengan demikian zina berbeda dengan liwath, dan tidak bisa diqiyaskan dengan zina.  Adapun hadits,”Jika seorang laki-laki mendatangi laki-laki yang lain keduanya adalah pezina, jika seorang perempuan mendatangi perempuan lainnya keduanya adalah pezina.”  Di dalam isnad hadits ini ada Mohammad bin ‘Abd al-Rahman.  Abu Hatim mendustakannya.  Baihaqi berkomentar, “Saya tidak mengetahuinya dan haditsnya mungkar.  Seandainya keshahihannya diakui maka maksud dari hadits tersebut adalah tasybih (penyerupaan), yakni seperti orang-orang zina.  Dengan bukti, tidak ada ketetapan dari Rasulullah saw bahwa beliau merajam pada kasus liwath dan menghukumi liwath (seperti hukum zina).   Adapun ketetapan Rasulullah saw menyebutkan,”Bunuhlah kedua pelakunya.” Bila perkataan beliau[1]  ini bermakna hakiki, tentunya had liwath akan sama dengan had zina.  Demikian pula bahwa hadits yang meriwayatkan tentang sanksi rajam bagi pelaku liwath telah menetapkan sanksi rajam bagi jejaka atau perawan (al-bikr), yakni merajam pelaku liwath baik muhshon maupun ghairu muhshon.[2]  Ini berarti bahwa hukum liwath berbeda dengan hukum zina.  Semua ini menunjukkan bahwa sanksi liwath berbeda dengan sanksi zina. 
            Adapun hukum syara’ dalam sanksi liwath adalah bunuh; baik muhshon maupun ghairu muhshon.  Setiap orang yang terbukti telah melakukan liwath, keduanya dibunuh sebagai had baginya.  Dalil yang demikian itu adalah sunnah dan ijma’ shahabat.  Adapun sunnah, dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas ra berkata, “Rasulullah saw bersabda,”Barangsiapa yang kalian dapati sedangkan melakukan perbuatannya kaum Luth, maka bunuhlah keduanya.”   Diriwayatkan oleh Imam Lima kecuali Nasa’iy.   Al-Hafidz berkomentar, “Rijalnya tsiqat akan tetapi hadits ini masih diperselisihkan.”  Ibnu Thala’ di dalam Ahkam mengatakan, “Tidak ada ketetapan dari Rasulullah saw bahwa beliau saw merajam kasus liwath, beliau juga tidak menjatuhkan hukuman pada kasus liwath, namun liwath ditetapkan berdasarkan kenyataan bahwa beliau saw bersabda, “Bunuhlah kedua pelakunya.” Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas dari Abu Hurairah. Selesai.   Ini adalah dalil dari sunnah bahwa hukum liwath adalah bunuh. Adapun apa diriwayatkan dari Sa’id bin Jabi dan Mujahid dari Ibnu ‘Abbas,”Jejaka yang didapatkan sedangkan melakukan liwath maka rajamlah.”  Maksud dari hadits di atas adalah bunuhlah dengan rajam, bukan bermakna bahwa had liwath adalah rajam.  Dan yang menunjukkan pengertian ini adalah, bahwa dalil yang menyebutkan hukum bunuh bagi kedua pelakunya bersifat mutlak tidak membedakan antara jejaka dengan duda, sedangkan rajam adalah had bagi janda atau duda saja.  Padahal hadits tersebut telah menyebutkan bahwa yang melakukan perbuatan (liwath)  itu adalah jejaka.   Ini menunjukkan bahwa had liwath berbeda dengan had rajam.  Oleh karena itu hadits Ibnu ‘Abbas dari jalan Sa’id Ibnu Jarir dan Mujahid tidak bertentangan dengan hadits Ibnu ‘Abbas dari jalan Ikrimah.  Kedua hadits tersebut menunjukkan hukum bunuh, sedangkan hadits rajam menunjukkan hukum bunuh [bagi liwath] dengan uslub tertentu.[3]  Sedangkan hadits bunuh [bagi liwath] menunjukkan pembunuhan secara mutlak.  Dengan demikian hukum liwath adalah bunuh dan boleh membunuh dengan cara rajam, gantung, ditembak dengan senapan, atau dengan wasilah yang lain.   Hukum liwath adalah bunuh, bunuh berbeda dengan uslub atau wasilah yang digunakan untuk membunuh. 
            Adapun ijma’ shahabat, sesungguhnya para shahabat berbeda pendapat dalam menetapkan uslub untuk membunuh pelaku liwath, akan tetapi mereka sepakat untuk membunuhnya.  Baihaqiy mengeluarkan hadits dari ‘Ali ra bahwa beliau ra merajam pelaku liwath.  Baihaqiy juga mengeluarkan dari Abu Bakar ra bahwa beliau mengumpulkan para shahabat untuk membahas kasus homosex.  Diantara para shahabat Rasul itu yang paling keras pendapatnya adalah ‘Ali bin Abi Thalib ra.  Ia mengatakan,”Liwath adalah perbuatan dosa yang belum pernah dilakukan oleh umat manusia, kecuali satu umat (umat Luth) sebagaimana yang telah kalian ketahui.  Dengan demikian kami punya pendapat bahwa pelaku liwath harus dibakar dengan api.  Diriwayatkan dari Ja’far bin Mohammad dari bapaknya dari ‘Ali bin Abi Thalib selain dari kisah ini berkata,”Rajam dan bakarlah dengan api.”  Baihaqiy mengeluarkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa beliau ditanya tentang had pelaku liwath, beliau ra berkata,”Jatuhkanlah dari atas bangunan yang paling tinggi di suatu daerah, kemudian susullah dengan lemparan batu.”   Diriwayatkan dari ‘Ali ra,”Bahwa beliau membunuh [pelaku liwath] dengan pedang, kemudian membakarnya, karena demikian besar dosanya.”  ‘Umar dan ‘Utsman berpendapat,”Pelaku ditimpuk dengan benda-benda keras [sampai mati].”   Semua ini adalah pendapat yang menunjukkan bahwa had liwath adalah bunuh, walau uslub pembunuhannya berbeda-beda.   Selain itu telah dikisahkan oleh shahib al-syifaa’ (ijma’ shahabat untuk menjatuhkan had bunuh bagi pelaku liwath). Hal ini telah menjadi ijma’, yakni ijma’ shahabat telah menetapkan bahwa pelaku liwath hukumnya adalah bunuh, baik pelaku maupun partnernya, muhshon maupun ghairu muhshon.  Ijma’ shahabat sendiri adalah dalil syara’ sebagaimana sunnah.
            Pembuktian liwath berbeda dengan pembuktian zina, akan tetapi pembuktian liwath seperti halnya pembuktian salah satu had dari hudud yang ada kecuali zina.    Sebab, selama tidak dibenarkan menyamakan liwath dengan zina, maka liwath tidak boleh ditetapkan berdasar bayyinah zina.   Oleh karena itu, pembuktian liwath dikategorikan ke dalam dalil hudud yang lain.   Dengan demikian, liwath terbukti dengan adanya pengakuan, kesaksian dua orang saksi, atau seorang laki-laki dan dua orang perempuah, sebagaimana bayyinah pencurian, serta bayyinah pada hudud yang lain.  Had liwath dapat dijatuhkan dengan syarat, pelaku liwath baik pelaku maupun partnernya, baligh, berakal, karena inisiatif sendiri, dan ia terbukti telah melakukan liwath dengan bukti syar’iyyah, yaitu, kesaksian dua orang laki-laki, atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan.  Seandainya pelaku liwath adalah anak kecil, gila, atau dipaksa dengan pemaksaan yang sangat, maka ia tidak dijatuhi had liwath. 




[1] Yakni perkataan Rasulullah saw ,” Jika seorang laki-laki mendatangi laki-laki yang lain keduanya adalah pezina, jika seorang perempuan mendatangi perempuan lainnya keduanya adalah pezina.”
[2] Sanksi rajam pada kasus perzinaan khusus hanya untuk pezina muhshon,  sedangkan pezina ghairu muhshon dijatuhi sanksi jilid.  Ini berbeda dengan kasus liwath.   Pelaku liwath baik ghairu muhshon maupun muhshon dikenai hukum bunuh, yang salah satu wasilah membunuhnya adalah dengan cara dirajam.  Ini menunjukkan bahwa had zina berbeda dengan had liwath (homosex).
[3] Had liwath adalah bunuh.  Sedangkan uslub untuk melakukan pembunuhan bermacam-macam, bisa dengan rajam, gantung, tembak, dll.  Sedangkan hadits,”Jejaka yang didapatkan sedangkan melakukan liwath maka rajamlah,” tidak menunjukkan bahwa had liwath adalah rajam, akan tetapi hadits ini sekedar menunjukkan uslub untuk menjatuhkan hukum bunuh bagi pelaku liwath, yakni dengan rajam.

copy paste dari  Buku Sistem Sanksi dalam Islam

No comments:

Post a Comment